Sekolah Anti-Bullying

Citra
2 min readAug 2, 2022
Photo by Austrian National Library on Unsplash

Belum lama ini kita melihat dan mendengar kasus diskriminasi dan perundungan yang dilakukan oleh oknum guru di Medan terhadap siswa yang kurang mampu. Perundungan tersebut dilakukan karena siswa tersebut belum bayaran uang SPP dan buku. Selain itu, adapula perundungan yang disebabkan siswa tidak mampu mengikuti dengan baik materi pelajaran tertentu. Banyak siswa korban perundungan mengalami trauma akibat dipermalukan. Kasus perundungan semacam ini bukanlah kasus pertama kali di lembaga pendidikan. Hal ini tentu saja terlihat sangat miris. Aksi tersebut dapat berimplikasi pada sifat dan perilaku siswa di masa depan mereka. Mulai dari tingkat kepercayaan diri yang rendah hingga terbentuknya perilaku suka membully terhadap orang lain.

Mengingat perilaku suka merundung orang lain bukanlah perilaku yang muncul dengan sendirinya. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan siswa dapat memiliki kebiasaan tersebut. Ariesto (dalam Zakiyah et al., 2017) menjelaskan faktor tersebut adalah; faktor keluarga, sekolah, teman sebaya, kondisi lingkungan sosial, tayangan televisi, dan media cetak. Faktor pencetus perilaku bully tersebut membuktikan bahwa sistem masyarakat memiliki peranan yang besar dalam membentuk watak individu. Ironisnya, saat ini pihak yang ikut melakukan perundungan adalah oknum pendidik itu sendiri. Hal ini tentu sangat memperihatinkan dikarenakan guru yang merupakan agen sosialisasi dalam sistem pendidikan tidak dapat menjadi teladan yang baik.

Dengan adanya fenomena tersebut, tak mengherankan perilaku bullying semakin merajalela. Perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan dan pada akhirnya mengakar di masyarakat. Sikap saling membenci, mengucilkan, merendahkan orang lain menjadi hal yang lumrah. Adanya perbedaan-perbedaan di masyarakat yang seharusnya disikapi dengan toleransi menjadi bahan cemooh terutama oleh orang-orang yang merasa dirinya lebih berkuasa. Apabila kita menelaah lebih dalam, dapat kita temukan saat ini gejala sosial masyarakat yang tersegmentasi dan terpecah sudah mulai terlihat. kita melihat berbagai kelompok dimasyarakat saling membully karena perbedaan politik, kepercayaan, perbedaan budaya, dan kelas sosial. Membiarkan hal ini terjadi sama saja kita membiarkan bangsa ini terpecah karena tidak bisa menghadapi keberagaman. Ya, percaya atau tidak kebiasaan perundungan yang selalu disepelekan dalam lembaga pendidikan dapat menjadi salah satu benih penyebab budaya perundungan dan konflik sosial dimasyarakat.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan haruslah menjadi tempat yang memberikan rasa aman bagi siswa saat mereka menuntut ilmu. Senada dengan pandangan Paulo Freire, sekolah adalah tempat pembentukan humanisasi. Tempat dimana individu dibentuk untuk menjadi insan yang memiliki hati nurani, beradab, dan memiliki kualitas intelektual yang mumpuni. Oleh karena itu, adanya perundungan yang dilakukan oleh pihak sekolah terhadap siswa merupakan bentuk kontraproduktif dari tujuan lembaga pendidikan itu sendiri. Sekolah haruslah menggambarkan keberagaman. Adanya diseminasi pemikiran toleransi terhadap perbedaan pada setiap siswa, mulai dari kelas sosial, budaya, keyakinan, etnisitas, dan tingkat pengetahuan wajib dilakukan. Segala bentuk permasalahan pada siswa diselesaikan dengan cara kekeluargaan tanpa sikap penghakiman sepihak. Hal ini untuk mewujudkan prinsip pengajaran itu sendiri, Seperti yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni; bersemangat keluhuran budi, mendidik kecerdasan budi pekerti, bersifat kekeluargaan, dan membangun karakter ( Majlis Luhur Taman Siswa ).

--

--